Ada
beberapa pendekatan atau aliran dalam ranah psikologi,
Pertama,
Strukturalisme, aliran ini adalah aliran pertama spikologi. Tokoh
strukturalisme adalah Wilhelm Wundt, seorang psikologi Jerman yang mendirikan laboratorium
psikologi pertama di tahun 1879. Pada saat itu aliran psikologi ini melihat
kesadaran sebagai tersusun dari elemen-elemen struktural yang berhubungan erat
dengan proses-proses pada organ-organ pancaindra.[1]
Tugas psikologi adalah menemukan
elemen-elemen dasar dan berupaya menetapkan hukum-hukum yang menggabungkan
elemen-elemen dasar ini. aliran strukturalisme juga disebut dengan
elementalisme karna sering disebut juga ilmu kimia mental dan pandangannya yang
mentalistik.[2]
Strukturalisme sebagai aliran tak luput
dari perbedaan dan penentangan. Penentang aliran strukturanlisme berpendapat
bahwa karakteristik paling utama dari pikiran sadar adalah proses-prosesnya
bukan isinya yang pasif, menyadari atau merasakan bukan sensasi-sensasi,
berpikir dan bukan pikiran-pikiran, menggambarkan dan bukan gambaran-gambaran.
Intinya proses-proses di atas harus menjadi pokok utama psikologi.[3]
Terlepas dari program penelitian yang
intensif dan penentangan-penentangan dengan arus yang besar, akhirnya aliran
strukturalisme mengalami nasib yang sama dengan kisah dinosaurus.
Kedua,
Fungsionalisme, aliran ini memfokuskan dengan mempelajari fungsi dan kegunaan
jiwa. Secara lebih terperinci, fungsionalisme adalah orientasi dalam psikologi
yang menekankan proses-proses mental dan bukan isi mental dan yang menghargai
kebermanfaatan psikologi.[4]
Aliran fungsionalis berusaha mencari
jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana kesadaran jiwa manusia
khususnya fungsi kesadaran dan penyesuaian terhadap situasi-situasi tertentu.
Perbedaan aliran ini dengan aliran
lainnya seperti aliran struktural, gestal, dan psikoanalis adalah terletak pada
semangat atau sikap yang menekankan penerapan dan kebermanfaatan psikologi.
Para fungsionalis ingin mengetahui cara kerja pikiran dan apa saja kegunaan
pikiran, bukan sekedar isi dan struktur apa yang terlibat dalam proses mental.[5]
Salah satu pemimpin fungsionalis adalah
William James (1824-1910), ia adalah seorang filsuf, dokter, sekaligus psikolog
Amerika. William berpendapat bahwa pencarian struktur pembangun pengalaman,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Wundt dan Titchener adalah usaha yang
sia-sia dan membuang waktu. Alasannya, otak atau pikiran terus-menerus berubah.
Ide-ide yang tetap atau permanen tidak muncul secara berkala sebelum adanya
“cahaya yang menyoroti kesadarn” (footlight of conscinousness).[6]
Fungsionalisme tidak berusia panjang.
Aliran ini kurang memiliki teori atau program penelitian yang tepat, serta
kurang mampu menarik pengikut. Alhasil, penelitian tentang kesadaran dan konsep
aliran ini tidak dapat bertahan lama. Meskipun demikian, penekanan para
fungsionalis terhadap penyebab dan akibat perilaku telah mentukan perjalanan
psikologi sebagai suatu yang ilmiah.[7]
Ketiga,
Psikoanalisis, meruapakan aliran utama dalam psikologi dan memiliki teori
kepribadian yang disebut teori kepribadian psikoanalisis. Dalam sejarah
psikologi, aliran ini menjadi mazhab pertama dari tiga mazhab utama psikologi,
seperti behaviorisme sebagai mazhab kedua dan humanistik seksistensial sebagai
mazhab ketiga.[8]
Tokoh aliran ini adalah Sigmund Freud,
ia juga dikenal dengan sebutan bapak psikoanalisis. Freud berupaya
mengembangkan kepribadian yang ditentukan oleh adaptasi individual dan tanpa
sadar terhadap kekuatan-kekuatan tersebut.
Psikoanalisis mengembangkan konsep
aktivitas mental lebih luas dari pada sistem psikologi manapun. Sebagai
represntasi utama dari kebergantungan aksterm pada aktivitas mental untuk
menjelaskan kepribadian, psikoanalisis terpisah dari berbagai gerakan lain
dalam psikologi kontemporer. Selain itu, psikoanalisis tidak lahir dari
penelitian akademis, sebagaimana sistem-sistem lainnya, namum merupakan produk
konsekuensi terapan praktik klinis.[9]
Keempat,
Behaviorisme, adalah satu pandangan
teoritis yang beranggapan, bahwa persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa
mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas.[10]
Aliran ini pada mulanya tumbuh subur di
Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni John Broadus Watson.
Aliran Behaviorisme menitikberatkan peranan lingkungan, peranan dunia luar
sebagai faktor peting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Pada
dasarnya, aliran ini memandang bahwa perkembangan seseorang sebagai “seorang
tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan”.[11]
Aliran Behaviorisme menolak metode
introspeksi dari aliran strukturalisme dengan sebuah keyakinan bahwa menurut
para behaviorist metode introspeksi tidak dapat menghasilkan data yang
objektif, karena kesadaran menurut para behaviorist adalah sesuatu yang Dubios,
yaitu sesuatu yang tidak dapat diobservasi secara langsung, secara nyata.[12]
Jadi, fokus kajian dan perhatian aliran
behaviorisme adalah perilaku yang tampak, hal ini karena persoalan psikologi
adalah tingkah laku, tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan
mentalitas.
Sebagai tokoh psikologi aliran
behaviorisme, Watson mendefinisikan psikologi sebagi ilmu
pengetahuan tentang tingkah laku. tujuan behaviorisme adalah mampu meramalkan
reaksi dari satu pengenalan mengenai kondisi perangsang atau stimulus, dan
sebaliknya, juga mengenali reaksi, agar bisa meramalkan kondisi perangsang yang
mendahuluinya. Inti dari behaviorisme adalah memprediksi dan mengontrol
perilaku.[13]
Karya Watson diawali dengan artikelnya Psychology
as The Behaviorist Views it pada tahun 1913. Di dalam artikelnya tersebut
Watson mengemukakan pandangan behavioristiknya yang membantah pandangan
strukturalisme dan fungsionalisme tentang kesadaran. Menurut Watson (behaviorist
view) yang dipelajari adalah perilaku yang dapat diamati, bukan kesadaran,
karena kesadaran adalah sesuatu yang dubios
Kelima,
Gestalt adalah sebuah kata Jerman yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk,
wujud atau organisasi yang mengandung arti kebulatan, keselurahan dan
keparipurnaan. Psikologi gestalt pada umumnya berbicara mengenai cara bagaimana
kita mengamati dunia di sekitar kita. Para psikolog gestalt percaya bahwa
persensi kita ada sangkut pautnya dengan keseluruhan atau pola-pola yang
terorganisasi.[14]
Gagasan pokok psikologi gestalt adalah
keseluruhan yang lebih daripada penjumlahan atas bagian-bagiannya. Teori
gestalt bersifat antireduksionistik. Psikologi gestalt berbeda dengan
teori-teori lain yang berusaha menentukan bagaimana sesuatu itu berfungsi
dengan memecahkan satuan ke dalam bagian-bagian dan kemudian memeriksa
bagian-bagian tersebut. Hal itu dianggap keliru oleh psikologi gestalt.[15]
Hal yang mendasari psikologi gestalt
adalah teori nativistik bahwa organisasi aktivitas mental membuat individu
berinteraksi dengan lingkungan dengan cara-cara khas.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Brennan, James F, Sejarah dan Sistem Psikologi, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, edisi
ke-6, 2006.
Chaplin, JP, Dictionary of Phsycology, diterj.oleh Kartini Kartono, Kamus Lengkap
Psikologi, Jakarta, Raja Grapindo, 2002.
Gunarsa, Singgih D, Konseling dan Psikoterapi,
Cet ke-7, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2007.
Semium, Yustinus, Kesehatan
Mental, Yogyakarta, Kanisius, 2006.
Semium, Yustinus, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud, Yogyakarta,
Kanisius, 2006.
Wade,
Carole dan Carol Tavris, Psikologi, Jakarta,
Erlangga, Edisi ke-9, 2007.
Walgito, Bimo, Pengantar
Psikologi. Yogyakarta, Penerbit Andi, 2002.
[1]
Yustinus Semium, Teori Kepribadian dan
Terapi Psikoanalitik Freud, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 41.
[2]
Ibid.,
[3]
Ibid., h.42
[4]
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem
Psikologi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, edisi ke-6, 2006), h. 255
[5]
Ibid., h. 255
[6]
Carole Wade dan Carol Tavris, Psikologi, (Jakarta:
Erlangga, Edisi ke-9, 2007), h. 19.
[7]
Ibid.,
[8]
Yustinus Semiun, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud.,
loc, cit, h. 43.
[9]
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem
Psikologi, loc. Cit., h. 313
[10]
JP Chaplin, Dictionary of Phsycology,
diterj.oleh Kartono, Kartini, dg judul Kamus
Lengkap Psikologi (Jakarta : Raja Grapindo, 2002), h. 54
[11]
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan
Psikoterapi, Cet ke-7, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007), h. 191
[12] Bimo Walgito, Pengantar
Psikologi. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002), h. 53
[13]
JP Chaplin, Dictionary of Phsycology.,
loc. cit., h. 536
[14]
Yustinus Semium, Kesehatan Mental,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 389
[15]
Ibid.,
[16]
James F. Brenann, Sejarah dan Sistem
Psikologi, loc. cit., h. 294
0 comments:
Post a Comment