Kirim Pertanyaan Anda Ke alamat Email ini: konsultasiantasari@gmail.com

Monday, November 18, 2013



Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya mempunyai seorang kaka yang telah dewasa dan mapan, usianya telah mengijak 26 tahun. Permasalahannya adalah kakak saya tersebut selalu menolak dan mengabaikan tawaran serta perintah orang tua kami untuk menikah. Kakak saya sering kali mejawab perintah untuk menikah tersebut dengan jawaban “masih ingin sendiri dan bersantai”. Padahal orang tua kami ingin sekali melihat kakak saya menikah.
Mohon diberi saran dan solusi pada permasalah di atas.
Sebelumnya saya ucapakan terima kasih atas jawabannya.
Dari Abdullah di Banjarbaru

Wa’alaikum Salam, Wr. Wb.
Menikah dilihat dari segi hukum berdasarkan alasan dan tujuannya atau kondisi orang yang melakukannya. Dan dari segi manfaat serta pertimbangan bisa dilihat dari berbagai aspek, misalnya dari sudut pandang agama, Psikologis, ekonomi, kesehatan ataupun seksual.

Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :

Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak dan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, serta dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya yang tinggi tersebut.

Kedua : Nikah hukumnya sunnah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan: “Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.(An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz:9, h. 172)

Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. (Contoh ini disebutkan oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulughul Maram, Juz: 4, h. 180). Berbeda dengan itu Imam An-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan: “Seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya menikah adalah makruh; adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz:9, h. 174). 

Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, dan harus mencari harta atau bekerja keras untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. maka akan lebih baik, kalau dia mencari atau memenuhi kemampuan materi terlebih dahulu. Disamping itu, kemungkinan nanti istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin dengan baik dikarenakan suaminya kurang membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. 

Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz: 9, h. 174)

Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.   

Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. (Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak, Jakarta, Dar al-Haq, 2010).

Adapun yang berkenaan dengan pertanyaan Abdullah di Banjarbaru, maka yang perlu diingat adalah bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya. Dan apabila pihak keluarga menilai dia sudah pantas menikah serta bermanfaat bagi masa depannya, maka pihak keluarga bisa memberikan motivasi, dan perlu diingat tidak mendesak dia untuk menikah, namun memberinya semangat, (aspek psikologis) misalnya menyebut beberapa orang wanita yang bisa dia lirik siapa tahu dia tertarik, (aspek seksual). Atau dengan bercerita betapa bahagianya orang yang menikah, atau betapa besar pahala orang yang memiliki harta dan memberi nafkahnya untuk keluarga. (aspek agama) Atau dengan menyebut kelebihan wanita sehingga diciptakan untuk mendampingi pria sebagaimana Siti Hawa diciptakan untuk Nabi Adam As., dan betapa berwarnanya hidup ketika seorang laki-laki harus menyetir atau menakhkodai rumah tangga yang didalamnya ada wanita atau isteri dengan segala keunikannya, (seni kehidupan) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala prilaku positif dan negatifnya. Dan tegaknya kekhalifahan di muka bumi dengan pernikahan, dan sebagainya.

Kemudian yang perlu diperhatikan dalam memberikan motivasi adalah ketepatan waktu, tempat ataupun moment atau situasi dan kondisi yang baik pada saat membicarakan masalah ini. Jangan sampai terkesan mendesak apalagi sampai menekan yang bersangkutan, sehingga dia merasa perkawinan sebagai sebuah beban. Jadi santai saja, jangan lupa berdo’a ataupun mensportnya melalui do’a, insya Allah semua akan ada waktunya.     

Demikian penjelasan ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam.  

Konsutasi Permasalahan Keluarga ini diasuh oleh :
Mariyatul Norhidayati Rahmah, M.Ag, M.Si, salah satu dosen Pengajar di Fakultas Dakwah & Komunikasi IAIN Antasari Banjarmasin

Categories:

1 comment:

  1. terima kasih ka abdu rahman atas artikelnya.sukses slalu untuk ngeblognya.

    ReplyDelete