Saya mempunyai seorang
kaka yang telah dewasa dan mapan, usianya telah mengijak 26 tahun.
Permasalahannya adalah kakak saya tersebut selalu menolak dan mengabaikan
tawaran serta perintah orang tua kami untuk menikah. Kakak saya sering kali
mejawab perintah untuk menikah tersebut dengan jawaban “masih ingin sendiri dan
bersantai”. Padahal orang tua kami ingin sekali melihat kakak saya menikah.
Mohon diberi saran dan
solusi pada permasalah di atas.
Sebelumnya saya
ucapakan terima kasih atas jawabannya.
Dari Abdullah di
Banjarbaru
Wa’alaikum
Salam, Wr. Wb.
Menikah dilihat dari
segi hukum berdasarkan alasan dan tujuannya atau kondisi orang yang
melakukannya. Dan dari segi manfaat serta pertimbangan bisa dilihat dari
berbagai aspek, misalnya dari sudut pandang agama, Psikologis, ekonomi,
kesehatan ataupun seksual.
Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi
orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah
hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah
karena syahwatnya bergejolak dan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, serta
dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya yang tinggi tersebut.
Kedua : Nikah hukumnya
sunnah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi
tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam
Syarh Shahih Muslim menyebutkan: “Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang
Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.(An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim,
Juz:9, h. 172)
Ketiga : Nikah hukumnya mubah,
bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang
yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. (Contoh ini disebutkan
oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulughul Maram, Juz: 4, h. 180). Berbeda
dengan itu Imam An-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan: “Seseorang
yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup,
maka baginya menikah adalah makruh; adapun seseorang yang mempunyai harta
tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda
pendapat tentang hukumnya. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz:9, h.
174).
Keempat : Nikah hukumnya
makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah
(lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk
dinikahi, dan harus mencari harta atau bekerja keras untuk menafkahi istri yang
sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. maka akan lebih baik, kalau dia mencari
atau memenuhi kemampuan materi terlebih dahulu. Disamping itu, kemungkinan
nanti istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan
mendapatkan nafkah batin dengan baik dikarenakan suaminya kurang membutuhkannya
dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan
untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah
adalah makruh.
Adapun seseorang yang
mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para
ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak
dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah. (An-Nawawi,
Syarh Shahih Muslim, Juz: 9, h. 174)
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih
baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta
sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa
membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak,
menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya
ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan
hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama
menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga,
ketenangan dan ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya
haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan
menelantarkan istri dan anak. (Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah dan
Kontrak, Jakarta, Dar al-Haq, 2010).
Adapun yang berkenaan dengan pertanyaan
Abdullah di Banjarbaru, maka yang perlu diingat adalah bahwa menikah maslahatnya
kembali kepada orang yang melakukannya. Dan apabila pihak keluarga menilai dia
sudah pantas menikah serta bermanfaat bagi masa depannya, maka pihak keluarga
bisa memberikan motivasi, dan perlu diingat tidak mendesak dia untuk menikah,
namun memberinya semangat, (aspek psikologis) misalnya menyebut beberapa orang
wanita yang bisa dia lirik siapa tahu dia tertarik, (aspek seksual). Atau dengan bercerita
betapa bahagianya orang yang menikah, atau betapa besar pahala orang yang
memiliki harta dan memberi nafkahnya untuk keluarga. (aspek agama) Atau dengan
menyebut kelebihan wanita sehingga diciptakan untuk mendampingi pria
sebagaimana Siti Hawa diciptakan untuk Nabi Adam As., dan betapa berwarnanya
hidup ketika seorang laki-laki harus menyetir atau menakhkodai rumah tangga
yang didalamnya ada wanita atau isteri dengan segala keunikannya, (seni
kehidupan) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala prilaku
positif dan negatifnya. Dan tegaknya kekhalifahan di muka bumi dengan
pernikahan, dan sebagainya.
Kemudian yang perlu
diperhatikan dalam memberikan motivasi adalah ketepatan waktu, tempat ataupun
moment atau situasi dan kondisi yang baik pada saat membicarakan masalah ini.
Jangan sampai terkesan mendesak apalagi sampai menekan yang bersangkutan,
sehingga dia merasa perkawinan sebagai sebuah beban. Jadi santai saja, jangan
lupa berdo’a ataupun mensportnya melalui do’a, insya Allah semua akan ada
waktunya.
Demikian penjelasan
ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam.
Konsutasi Permasalahan Keluarga ini diasuh oleh :
Mariyatul Norhidayati Rahmah, M.Ag, M.Si, salah
satu dosen Pengajar di Fakultas Dakwah & Komunikasi IAIN Antasari
Banjarmasin
terima kasih ka abdu rahman atas artikelnya.sukses slalu untuk ngeblognya.
ReplyDelete